Musim dingin telah tiba di Eropa sejak pertengahan November. Namun, baru di Brussels aku benar-benar merasakan dampak yang dibawanya. Bertolak dari Luxembourg yang relatif hangat dan cerah, aku disambut di Brussels, ibukota Belgia, dengan udara yang dingin membeku. Langit diselubungi oleh awan kelabu, angin bertiup cukup kencang hingga membuat seorang pengendara sepeda nyaris kehilangan keseimbangannya dan harus berpegangan pada tiang lampu rambu lalu lintas, dan orang-orang berjalan kaki dengan cepat, merundukkan kepala serta memasukkan tangan ke saku mereka masing-masing.
Sangat jelas, kesan pertamaku saat menginjakkan kaki di kota ini, adalah aku datang di musim yang salah. Dan ternyata, saat aku mulai berjalan-jalan mengelilingi kota ini, aku juga keliru memilih hari.
Tempat pertama yang kukunjungi adalah Manneken Pis. Mungkin banyak dari teman-teman semua yang pernah mendengar mengenai dirinya: sebuah pancuran air yang dibentuk dengan rupa seorang anak kecil yang tidak henti-hentinya buang air kecil. Manneken Pis merupakan target turisme utama di Belgia, sangat ikonik. Alasannya adalah karena patung yang satu ini digadang-gadang sebagai lambang dari selera humor orang Belgia yang ganjil, dark, dan terkadang, inappropriate.
Dan tahukah kamu? Begitu aku tiba di lokasinya dan menatapnya, aku mendapati hal itu memang benar.

Patung anak kecil buang air kecil yang dikunjungi oleh ratusan orang ini (aku tidak berlebih-lebihan, saat aku datang, ada banyak sekali turis yang sedang mengerumuninya dan berfoto di depannya. Hence aku cuma bisa ambil foto ini, yang paling dekat) didandani dengan seragam Sinterklas. Saat itulah, aku tersadar bahwa aku memang datang tepat sehari sebelum natal. Dan wajar saja kalau petugas kantor wisata mendandani patung ikonik satu ini dengan seragam yang ikonik juga. Namun, menatapnya dalam rupa seperti itu, jelas ada perasaan dalam hati yang terus-menerus berkata: this is wrong. Completely, utterly wrong. Atau, ini mah bukan Manneken Pis! Tapi, ini Manneken Pis! Tapi tapi–
Yup, kejutan, saudara-saudara! Aku baru saja dikerjai oleh orang-orang Belgia. Dan tidak hanya aku, tapi sekian banyak orang lainnya yang sudah datang jauh-jauh untuk memotret patung satu ini–kami semua dikerjai habis-habisan.
Sungguh, detik itu juga, aku menyadari bahwa selera humor orang Belgia benar-benar tidak kepalang tanggung.

Tapi, apa boleh buat. Natal memang dirayakan oleh sebagian besar orang di Eropa sampai-sampai semua orang kantoran diliburkan, banyak situs-situs wisata yang ditutup. Tempat berikutnya yang kukunjungi, Royal Museum of the Armed Forces and of Military History (secara gamblang, museum angkatan bersenjata dan sejarah militer) ditutup saat aku tiba di sana. Sayang sekali, padahal begitu banyak yang ingin kulihat di dalamnya.
Tak hanya itu, cuaca yang terlalu mendung dan gelap juga membuat sebagian besar tempat terlalu muram untuk didatangi. Aku tidak berhasil menemukan Grand Palace yang megah dan berwarna-warni seperti foto yang pernah kulihat. Karena dingin, aku juga jadi tidak bisa jalan-jalan ke banyak tempat yang lebih jauh dari Atomium.
Untungnya, Atomium dibuka sepenuhnya pada hari itu. Setelah mengantri beberapa lama, teman-teman bisa menggunakan lift untuk mencapai bola (atom? molekul? whatever) yang berada di paling atas. Dari sana, kita bisa menikmati pemandangan Brussels, 360 derajat, sepenuhnya. Tidak ada bangunan yang lebih tinggi dari Atomium sejauh ratusan kilometer, sehingga teman-teman bisa melihat hampir semua bagian dari ibukota yang satu ini hingga ke cakrawalanya.

Selain itu, untuk penghibur sekaligus penghangat di hari yang kian mendingin, aku pun membeli beberapa cangkir cokelat panas dan wafel di toko pinggir jalan. Mungkin teman-teman sudah tahu bahwa Belgia digadang-gadang sebagai surganya cokelat; bahwa Belgia memproduksi cokelat-cokelat terenak di dunia. Setelah mencicipinya sendiri, aku bisa mengambil kesimpulan bahwa (meski jelas aku belum mencicipi semua cokelat yang ada di dunia untuk mengambil kesimpulan superlatif) cokelat di Belgia sangat, amat lezat.
Needless to say, you have to taste it by yourself.

Jadi, menutup jurnal kunjunganku di Brussels ini, harus kukatakan bahwa aku hanya mendapatkan sedikit kesempatan untuk menulis dalam solo traveling pertamaku di Eropa kali ini. Aku lebih banyak jalan-jalan, menikmati pemandangan, dan berfoto-foto. Jadi, kalau teman-teman mau, silakan ikuti Instagram-ku yang lebih update mengenai perjalananku ini. Bukan berarti aku akan berhenti menulis di sini–hanya saja, jika teman-teman sudah tak sabar ingin melihat foto-foto yang kuambil di Bruges, yang akan segera kutulis artikelnya di sini juga, teman-teman bisa melihatnya langsung di sana.
Dan ya, ini jadi terasa promosi nggak tahu malu, tapi tidak apa-apa ‘kan, ya?
Jadi… entry jurnalku berikutnya: Bruges.
perjalanan yang menarik. mg suata saat bisa k sana juga
Aamiiin, pasti bisa 🙂
Suka sama tulisan perjalananmu 🙂
Seakan-akan aku ada di sana dan menikmatinya. Tapi aku jadi dapat ide cerpen dari tulisanmu. Tulisan ini boleh kujadikan referensikah?
Thank in advance.
Salam,
Dyah
Wah boleh banget mbak hehe
Nanti kasihtahu saya ya mbak kalau cerpennya sudah jadi, hehe.