Lebih dari dua minggu lalu, ujian akhir semester saya di Perancis akhirnya selesai. Setelah berhari-hari hanya tidur beberapa jam demi belajar, mengonsumsi kopi bergalon-galon, dan datang ke kampus dengan mata merah, liburan natal dan tahun baru akhirnya tiba. Saya pun melakukan sesuatu yang sudah saya rencanakan sejak lama: mengemasi pakaian, alat mandi, celana training, dan pakaian dalam secukupnya ke dalam tas carrier dan berangkat meninggalkan asrama. Dengan menggunakan kereta TER yang berangkat dari Gare de Nancy, saya memulai perjalanan saya traveling keliling Eropa.
Keinginan saya untuk melakukan ini sudah ada sejak lama; kalau dipikir-pikir, mungkin bahkan sejak saya masih duduk di bangku SMA, saat membaca novel Edensor karya Andrea Hirata untuk pertama kalinya. Tahun menunjuk pada angka 2008, dan sebagai remaja ababil yang gampang dipengaruhi, Edensor dengan sukses membangkitkan gairah saya untuk, suatu hari nanti, berkeliling backpacking keliling negara-negara di Eropa. Saya ingin menjadi seperti Ikal dan Arai, yang hanya berbekalkan ransel punggung besar serta perlengkapan ‘ngamen’ sebagai sarana mendulang uang, bisa menjelajah Eropa dari Perancis menuju Siberia yang membeku, kemudian kembali hingga ke Istanbul yang megah. Bayangan bahwa suatu hari nanti saya akan menempuh puluhan ribu kilometer dengan berjalan kaki, tidur beratapkan bintang-bintang bersama para backpacker lainnya di stasiun, hanya berbekal sleeping bag sebagai penghangat, membuat bulu kuduk saya bergidik dengan gairah.
Sayangnya, dunia nyata seringkali berjalan sesuai dengan pertanyaan Murphy’s Law. Alias, tidak segalanya akan berjalan lancar-lancar saja sebagaimana yang kita mau. Kenapa? Karena banyak kesalahan yang bisa terjadi. Misal: di saat sekarang ini, tidak boleh lagi ada backpacker yang menginap di luar bangunan, di stasiun-stasiun, di Eropa. Alasan keamanan menjadi penyebab utama. Menempuh perjalanan puluhan ribu kilometer dengan berjalan kaki selama masa liburan saja tidak mungkin bisa dilakukan–bahkan seandainya kita berjalan tanpa henti. Hal itu berarti, sebagai backpacker di masa kini, kita–saya, termasuk–harus memperhitungkan faktor biaya: biaya menginap, biaya makan, biaya transportasi, dan sebagainya.
Dengan dana yang tidak tak berbatas dan waktu yang sempit, saya pun menyusun ulang rencana perjalanan saya. Aturan-aturan sederhana saya terapkan. Semisal: 1) Selalu menginap di penginapan yang harganya murah, meskipun tempat itu adalah hostel yang sempit dan kasurnya berkerit keras tiap kali saya bergerak di kasur; 2) selalu makan makanan yang murah (ini lebih mudah, karena biasanya rumah makan halal gampang dicari, dan saya mendapati mengonsumsi roti bantal yang harganya cuma 80 sen sudah cukup mengenyangkan dan bisa dihitung sebagai makan siang); 3) satu atau dua kota per satu negara, dan jangan lama-lama, cukup 2-3 hari saja per kota. Dan masih banyak lagi.
Dalam perjalanan saya kali ini, negara pertama yang saya kunjungi adalah Luxembourg. Kota ini, yang merupakan ibukota dari negara dengan nama yang sama sekaligus salah satu dari ibukota organisasi negara-negara Uni Eropa, berbatasan langsung dengan Perancis, Jerman, dan Belgia. Hal pertama yang saya ketahui saat saya menginjakkan kaki di daratannya adalah bahasanya. Ada empat bahasa utama yang digunakan di Luxembourg, yakni Luxembourgish, Perancis, Jerman, dan Inggris.
Hal ini jelas sangat membantu. Setelah sekian lama di Perancis, meski belum begitu lancar, saya bisa memahami dan berbicara bahasa mereka. Ini sangat penting karena, meski Bahasa Inggris tetap bisa digunakan di Luxembourg, dan mayoritas pengelola bisnis/usaha seperti rumah makan, penginapan, dan sarana transportasi bisa berbahasa Inggris, jika kita berjalan-jalan sendirian ke daerah-daerah yang sudah agak jauh dari pusat kota, kita akan mendapati lebih sedikit orang yang bisa berbahasa Inggris dengan lancar–tapi mayoritas dari mereka masih bisa berbahasa Perancis. Ini adalah hal yang wajar, tentu saja. Sama seperti jika orang asing ke Jakarta, mereka akan mendapati populasi orang yang bisa berbahasa Inggris sangat banyak, tapi kalau ke Cilacap, mereka akan mendapati–yah, masih banyak juga yang bisa berbahasa Inggris, tapi–sedikit lebih kecil jumlah orang yang bisa berbahasa Inggris.
Tetap saja, demi keamanan, saya tidak berjalan-jalan hingga ke pelosok saat saya di Luxembourg. Lagipula, saya mau menghemat dana. Sebagai gantinya, saya mendapati sebuah keganjilan dan keindahan tersendiri dari kota Luxembourg, tepat di pusat kotanya, di sebuah wilayah yang bernama Grund.
Di tengah-tengah kota Luxembourg, terdapat sungai Alzette dan Pétrusse yang berliuk-liuk, membelah kota tersebut menjadi beberapa bagian sekaligus. Ukurannya tidak terlalu besar, tapi perairan yang telah terbentuk dan terus berubah sejak zaman Jurassic ini mendorong daratannya ke bawah, membentuk lembah-lembah dan undakan yang membentuk dataran rendah di tengah-tengah kota. Di dalamnya, berdiri daerah bernama Grund.




Bentuk lembah yang seperti ini menjadikan Luxembourg menyerupai dengan terasering–struktur bertangga yang lumrah kita jumpai di Indonesia. Bedanya, kalau di Indonesia, tiap-tiap level terasering berisikan padi dan tanaman pertanian; kalau di Luxembourg, tiap-tiap level berisikan bangunan, rumah-rumah, gereja, kastil, dan populasinya tersendiri. Ukuran Grund sangat masif–membentang sepanjang sungai-sungai sejauh berkilo-kilometer. Banyak jalan akses menuju Grund, dan banyak bus yang melaluinya, tapi jika kau bersedia berjalan kaki, bisa dijamin pemandangan yang kita lihat akan jauh lebih indah.
Hanya saja, berhati-hatilah karena jalanannya seringkali licin.


Dari atas dan bawah lembah, kita bisa melihat pemandangan yang menakjubkan–kastil-kastil, struktur-struktur yang sudah bertahan ratusan tahun. Berbagai benteng berdiri di kota ini, dan meski sebagian besar tinggal reruntuhan dan masih dalam renovasi, mereka semua sudah teruji dalam perang. Tempat ini begitu sarat akan sejarah, UNESCO bahkan mencatat dan mengakui segenap wilayah kota tua Luxembourg sebagai situs warisan budaya dunia tersendiri.





Saya sendiri, dengan (agak) nekat, mencoba menuruni benteng tua Bock. Benteng yang luar biasa–dindingnya seolah dipahat langsung pada tebing, menjadikannya sangat strategis sekaligus sangat kuat. Logisnya, tidak mungkin ada orang yang bisa menghancurkan benteng ini tanpa menghancurkan seluruh tebing–sesuatu yang hampir mustahil dilakukan. Menara-menara penjagaannya terletak pada posisi strategis yang memungkinkan untuk melihat seisi lembah di bawah; lokasi mereka juga terlalu tinggi untuk diserang secara langsung. Lubang-lubang perlindungan juga berfungsi sebagai tempat untuk menembaki musuh dengan anak panah atau senjata api.
Besar sekali keinginan saya untuk mencoba memasuki Bock, untuk menjelajahi lorong-lorong dan koridor-koridornya yang gelap, untuk mencoba melihat langsung dari dalam sana ke arah luar, merasakan menjadi salah satu penjaga di benteng itu, berabad-abad silam. Mempertahankan tempat yang tidak tertaklukkan itu berkali-kali, beratus-ratus tahun, hingga satu-satunya yang bisa menjatuhkannya adalah permainan politik: Treaty of London. Namun, sayangnya Bock ditutup pada hari saya berkunjung. Menjelang hari natal, sepertinya semua orang ingin menghabiskan waktu bersama keluarga–sesuatu yang berjarak belasan ribu kilometer dari saya hingga saat ini, detik ini.






Secara keseluruhan, kunjungan ke Luxembourg ini benar-benar berkesan bagi saya. Ini adalah negara keempat di Eropa yang pernah saya kunjungi setelah Jerman, Ukraina, dan Perancis. Luxembourg menunjukkan pada saya alasan mengapa Eropa disebut-sebut sebagai sarat akan sejarah. Tempat ini juga adalah kota pertama di mana kemampuan berbahasa saya benar-benar diuji, karena tanpa teman atau satu pun orang yang saya kenali di sini, kunci bertahan hidup hanya terdiri atas satu hal: kemampuan berbicara.
Namun, masih banyak tempat di Luxembourg yang ingin saya kunjungi. Lembah Tujuh Kastil, misalnya; atau Kastil Vianden yang menyerupai Hogwarts, yang duduk bertengger di atas bukit dengan kota kecil di bawah kakinya; atau Echternach, kota tertua di Luxembourg; dan masih banyak lagi. Sayangnya, aturan yang saya terapkan sejak awal membatasi waktu tinggal saya di sini. Meninggalkan penginapan, berjalan kaki menuju stasiun di pusat ibukota Uni Eropa yang begitu ramai dengan aktivitas ini, saya pun hanya bisa berharap satu hal: bahwa saya akan panjang umur, banyak rezeki, dan bisa kembali ke tempat ini lagi.

Setelah Luxembourg, tempat berikutnya yang akan saya kunjungi adalah salah satu ibukota Uni Eropa lainnya sekaligus ibukota negara tetangga Luxembourg; negara yang terkenal dengan cokelatnya yang sedemikian lezatnya.
Brussels.
Indah sekali, semoga suatu saat berkesempatan ke sana..
Assalamualaikum. Ini Bang Alkadri alumnus Teknologi Hasil Hutan IPB angkatan 47 kan ya, yang penulis novel Spora? Perkenalkan, saya Fara Ruby Addina, panggil aja Fara. Saya mahasiswa Biokimia IPB angkatan 49. Saya tahu Bang Alkadri dari Masjaw (M. Fahmi Alby) SVK 47. Saya junior Masjaw di Koran Kampus IPB.
Saya ingin sedikit-banyak bertanya sama Bang Alkadri terkait penulisan novel tersebut. Bolehkah? Terima kasih sebelumnya.
Waalaikumsalam. Iya, saya adalah dia
Boleh, silakan kirim ke email saya, alkadri01@gmail.com ya. Saya tunggu, dan salam kenal Fara.
Two days ago I sent an e-mail to you. Thanks. 😀
Two days ago I sent an e-mail to you. Thanks. 😀
whoaaa, indah sekali di Grund! 😀
mungkin di Indonesia juga bisa diterapkan konsep kota ala terasering begitu ya, secara di sini banyak gunung dan lembah.
Benar sekali mas 😀 Dengan akses jalan yang baik, pengaturan tanah yang pas, saya yakin ini mudah untuk diterapkan di daerah berbukit di Indonesia.
Ngiler bacanya mas, harus nih sekali dalam seumur hidup pergi ke luar negeri
Iya, saya doakan mbak. Aamiin 🙂