Apabila kita ibaratkan sebuah kota sebagai sesosok makhluk hidup, tak bisa dipungkiri bahwa kita, para manusia, merupakan penyuplai tenaganya. Hal itu kusadari di Paris, Sang Kota Cahaya, saat aku berkunjung ke sana. Ribuan orang bergerak keluar-masuk kereta bawah tanah bagaikan darah yang keluar masuk pembuluh. Lebih banyak lagi dari mereka yang bergerak, bersama-sama, di kanan-kiri trotoar yang lebar, diiringi dengan bunyi berbagai jenis kendaraan bermotor. Dan, hari itu, bagai sesosok raksasa, Paris menjulang di hadapanku dengan mengancam, memamerkan taring-taringnya.

Namun, bagai singa yang menguasai rimba, ia juga memikatku dengan keindahannya, keunikannya, dan sejarahnya.

Gare de l'Est
Gare de l’Est

Tujuanku berkunjung ke Paris untuk kedua kalinya adalah menjemput teman-temanku. Dari Indonesia, dan dari IPB juga, sama sepertiku, mereka akan turut melanjutkan studi di Nancy, di kampus yang sama denganku. Kedatangan mereka adalah sebuah anugerah untukku: sebagai satu dari tiga orang non-Perancis yang berkuliah Master di sebuah universitas yang sepenuhnya memberikan pelajarannya dalam Bahasa Perancis, aku merasa mendapatkan teman senasib sepenanggungan lagi. Aku mengenal mereka; dua di antara mereka adalah teman sekelasku saat masih S-1, dan satu lagi adalah kakak kelas. Rencanaku adalah menjemput mereka di Gare du Nord, salah satu stasiun terbesar di Paris, dan dari sana, kami akan ke Gare de l’Est, menitipkan barang-barang kami (koper dsb. tentu saja) di loker stasiun.

Kemudian, kami akan berjalan kaki bersama-sama menuju kantor Kedutaan Besar Indonesia di Paris untuk lapor diri dan mengurus beberapa administrasi beasiswa kami.

Kota
Kota

Setidaknya, itu rencanaku. Tapi, ada serangkaian perubahan rencana yang terjadi. Yang pertama adalah datangnya Caroline, pelajar Indonesia juga yang sedang studi di Paris, yang ternyata juga adalah teman pacarku dari SMA. Dia mengetahui bahwa aku juga akan lanjut studi di Perancis (berkat informasi dari pacarku, tentu saja), dan sesungguhnya kami sudah berkontak sejak lama, tapi aku tidak pernah terpikir untuk menghubunginya begitu aku tiba di Paris. Nah, untungnya, dia berinisiatif–begitu melihat check-in yang kubuat di Facebook–untuk menghubungiku.

Selasa pagi, dia membantuku menyambut dan menjemput teman-temanku di Gare du Nord.

Traffic
Traffic

Sebagai orang yang sudah familiar akan Paris, Caroline menawarkan untuk menjadi guide kami menuju kantor Kedubes Indonesia. Tentu saja, kami pun menyambut tawaran itu dalam sekejap. Alih-alih berjalan kaki, Caroline menunjukkan rute kereta bawah tanah yang menjalar dan saling-silang di bawah Paris. Ajaib bagaimana jaringan transportasi tersebut berjalan dan membentang, membentuk jaringan sedemikian besarnya di bawah Kota Cahaya. Kereta demi kereta membawa kami melintasi terowongan yang gelap, menempuh belasan stasiun, hingga akhirnya kami berhenti di La Muette, stasiun metro yang paling dekat dengan Kedubes.

Namun, sayang sekali, begitu kami tiba di sana, waktu sudah menunjukkan pukul 12.30–jam istirahat kerja untuk kantor Kedubes. Petugas yang ada di sana memberitahu kami untuk kembali lagi pukul 14.30. Kami kelelahan, dan kami pun istirahat sejenak dengan makan pop mie, kacang hijau, dan bersantai di kantin Kedubes. Ada beberapa orang Indonesia juga yang sedang berada di sana, dan sepertinya mereka adalah turis, memeriksa peta dan menunjuk-nunjuk lokasi satu ke lokasi lainnya, serta saling memberi saran dan tips:

“Paris itu kaya’ Jakarta. Banyak copetnya. Jaga dompet baik-baik.”

“Jangan sampai paspor hilang.”

“Jangan sampai terpisah dari rombongan.”

“Jangan mau melakukan sesuatu untuk orang yang tak dikenal, kecuali benar-benar darurat.”

Pembicaraan mereka membuatku tersadar kembali akan jati diri Paris: sebuah ibukota negara yang digadang-gadang sebagai salah satu negara terbesar di Eropa. Dipenuhi oleh turis dari berbagai kebangsaan, banyak juga kaum oportunis yang datang ke kota ini untuk mencari rezeki, pekerjaan, atau sekedar messing up dengan turis-turis pendatang. Aku teringat kembali mengenai betapa miripnya kota ini dengan Jakarta, kota di mana aku sempat menghabiskan waktu lama mencari kerja, bekerja, pulang-pergi menyusuri jalanannya yang ramai setiap harinya. Chaotic. Tusled.

Di saat-saat pikiranku sedang gloomy seperti itulah, seseorang–entah siapa, mungkin Caroline, atau Sinta, atau Dwi, atau Kak Della, bahkan mungkin aku sendiri–menyarankan bahwa sembari menunggu datangnya pukul 14.30, kami sebaiknya pergi untuk melihat Eiffel.

Tentu saja, ide itu tidak langsung diterima begitu saja. Banyak pertanyaan yang dilontarkan. Bagaimana transportasi ke sana? Berapa lama waktu tempuhnya, pulang-pergi? Namun, segala keraguan itu sirna begitu kami berkonsultasi kilat dengan Google Maps, yang menunjukkan–dengan cukup jelas–bahwa kami hanya akan membutuhkan waktu 18 menit untuk pergi ke Eiffel. Dengan berjalan kaki.

Maps
Maps

Dengan keraguan hilang, kami berlima pun berangkat ke sana.

***

To Eiffel
To Eiffel

Sebagaimana ditunjukkan oleh Google Maps, perjalanan menuju Eiffel terbukti merupakan sesuatu yang berlangsung sangat singkat. Tapi, tentu saja, bukan berarti kami tak mengalami masalah sama sekali. Beberapa kali kami hampir salah belok, dan berkat Caroline-lah kami berhasil kembali ke jalan yang benar. Ada keraguan, sebenarnya, ketika kami menyusuri trotoar yang sepertinya sepi, dan timbul pertanyaan-pertanyaan seperti, “Ini jalannya benar tidak?” “Kok jalur ke Eiffel sepi?” Dan sebagainya.

Namun, pertanyaan-pertanyaan itu sirna begitu kami melihat sesuatu, puncak sebuah menara, yang menjulang, muncul dari pucuk-pucuk pepohonan.

Close
Close

Terang saja, kami menjadi bersemangat kembali. Bahkan, ketiga temanku yang sebelumnya tampak sudah agak lelah, kembali penuh tenaga. Kami bergegas, mempercepat langkah kaki kami sepanjang trotoar kecil tersebut.

Closer
Closer

Perlahan-lahan, kami menemukan keramaian: orang-orang, sepertinya turis, yang berjalan beramai-ramai menuju maupun meninggalkan Eiffel. Sepanjang langkah, aku bisa mengenali beberapa bahasa yang kudengar, meski aku tidak memahaminya dengan baik: Inggris, Arab, Korea, Jepang, dan apakah tadi aku mendengar sedikit Bahasa Cina? Sepertinya ya.

Even closer
Even closer

Begitu menyaksikan Eiffel di seberang sungai Seine, aku menyadari betapa aku sudah meremehkan ukurannya, sama seperti aku meremehkan ukuran kota ini. Besar, menjulang, dengan rangka-rangka logamnya berlatarbelakang langit biru yang cerah, aku akhirnya menyadari bahwa aku benar-benar sedang berhadapan, melangkah bersama teman-temanku, menuju salah satu objek yang digadang-gadang merupakan bagian dari tujuh keajaiban dunia.

Kami sudah mulai mengambil foto sejak awal kami mulai berjalan, dan kali ini, kami pun berfoto bersama-sama.

'Bit More
‘Bit More
Several metres
Several metres
Olin, me, Dwi, Della, Sinta
Olin, me, Dwi, Della, Sinta

Dan di sana, berlatarbelakang Eiffel yang menjulang, dengan ratusan orang lainnya, bayang-bayang mereka yang berlalu-lalang di sekeliling kami, aku dan teman-temanku menyadari–mungkin untuk pertama kalinya, sejak kami baru saja mendarat di Paris pertama kali di dalam burung besi raksasa yang melaju melintasi benua-benua dengan kecepatan ratusan kilometer per jam ribuan kaki di atas bumi–satu kenyataan sederhana, tapi menggairahkan.

Kami benar-benar ada di Perancis.

We really made it.

Together
Together

5 thoughts on “Jalan Kaki ke Eiffel

  1. Jalan kaki memang seru.. apalagi kalau jalan kakinya ke eiffel.., andai dari Indonesia bisa ditempuh dengan jalan kaki…. pasti setiap hari kesitu… . Salah satu tempat impian 😂😂

    1. Bisa mas, tapi harus lewat bawah laut dulu, hehe… Yah, yang penting usaha juga sih mas, sama doa. Semoga suatu hari nanti bisa juga ke sana.. 😀

Leave a comment

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s