Seorang bijak pernah berkata bahwa semakin senang kita menjalani sesuatu, waktu akan terasa lebih cepat. Hari dan tahun akan berlalu sekejap mata, menyisakan kenangan dan perandaian, “Seandainya waktu bisa diulang kembali.” Sebaliknya, semakin kita tidak menyukai sesuatu, saat menjalankannya, waktu akan terasa berlangsung sangat lama. Tak percaya? Ingat-ingat saja masa-masa kita kecil dulu, saat kita menjalani puasa pertama kali, dan menunggu datangnya adzan maghrib yang tak kunjung tiba. Apa reaksi pertama kita saat mendengarnya? “Ah, akhirnya.”

Saya sendiri sudah banyak mengalami hal-hal seperti itu. Kencan akhir pekan yang berlangsung berjam-jam terasa hanya seperti semenit saja. Empat tahun kuliah sarjana berlalu begitu cepat. Periode pencarian kerja, mengikuti banyak sekali job fair, dipanggil untuk wawancara, ditolak, diterima, mulai bekerja, mulai kuliah lagi, dan masih banyak lagi contoh-contohnya. Tapi, teori itu tidak melulu berlaku. Terbukti sepanjang dua minggu saya di sini, dengan udara yang sangat gigit mendingin, bahasa setempat yang masih belum saya kuasai, keterbatasan dana, perkuliahan dengan tugas-tugasnya; tak satu pun dari hal-hal tersebut bisa saya anggap sebagai sesuatu yang benar-benar menyenangkan. Namun, toh kenyataannya, rasanya hampir sama: dua minggu berlalu dalam sekejap mata.

1 - 1
Dapur asrama

Jadi, sebenarnya apa saja yang telah saya lakukan selama dua minggu terakhir ini? Jawaban yang jujur adalah: nggak banyak-banyak amat. Sebagian besar periode saya habiskan dengan belajar habis-habisan untuk masak. Keterbatasan bahan baku (baca: bahan masakan) di sini membuat saya harus mempelajari beberapa masakan lokal. Dari yang rumit, seperti Omelette du Fromage sampai sesuatu yang bisa dimakan saat terburu-buru maupun bersantai-santai seperti roti isi, saya mempelajarinya satu per satu. Di saat bersamaan, saya juga belajar banyak dari orang-orang sini, terutama teman-teman yang seasrama, yang hampir semuanya adalah orang Perancis asli. Hal utama yang saya pelajari? Bahasa dan budaya mereka, tentu saja.

"Pas mal"
“Pas mal”
Acara pesta orang-orang sini. Somehow, saya ikut terseret ke dalamnya.
Acara pesta orang-orang sini. Somehow, saya ikut terseret ke dalamnya.
Weekend
Weekend

Separuhnya lagi adalah perkuliahan. Buat teman-teman yang belum tahu, saya berkuliah di fakultas kehutanan, bidang studi yang sama dengan yang saya pelajari sejak saya S1 dulu. Untunglah. Tidak kebayang di benak saya bagaimana jadinya jika saya berganti bidang di sini dan harus mempelajari segalanya dari nol lagi. Kegiatan perkuliahan di sini, sejujurnya, agak ganjil. Contohnya saja dalam hal mata kuliah. Di Indonesia, satu mata kuliah bisa dibagi ke dalam 18 pertemuan dalam satu semester. Jika satu pertemuan = 1.5 jam, maka 18 pertemuan = 27 jam. Sebaliknya, di sini, satu mata kuliah digeber dalam waktu satu minggu penuh, dari pagi sampai sore. Jam 9 sampai 12, jam 2 sampai 5, atau 6 jam sehari, selama 5 hari (Senin s.d. Jumat), totalnya adalah 30 jam. Di akhir pekan, diadakan presentasi hasil tugas. Nilai bisa langsung dikeluarkan.

Jalan ke kampus
Jalan ke kampus

Sungguh hal itu membuat otak dan jantung tegang nan berdebar-debar. Bagaimana tidak? Kita dituntut untuk bisa paham materi-materi kuliah dan turut melaksanakan tugas-tugasnya. Tak ada alasan “Sudah lupa… lama nggak belajar… di awal pertemuan, sudah lama sekali materinya…” di sini. Toh, ingatan akan satu materi masih fresh di akhir minggu. Masa’ lupa dan nggak bisa mengerjakan tugas/presentasi dengan baik?

Sungguh tidak terbayang bagaimana jadinya saya jika saya tidak pernah membaca-baca terlebih dahulu mengenai materi perkuliahan di sini sebelumnya.

Bagian dalam kampus
Bagian dalam kampus
Moi
Moi

Nah, lepas dari makanan dan perkuliahan, aspek lain yang paling menyita waktu di sini adalah barang-barang kebutuhan sehari-hari. Sebagai orang yang seringkali bepergian dengan bawaan sangat ringan (baca: nggak mau repot), saya hanya membawa sedikit sekali barang dari Indonesia ke sini. Walhasil, mau tidak mau, saya harus membeli barang-barang tambahan di sini. Hal-hal seperti: sabun mandi, shampoo, sabun cuci, ember, dan masih banyak lagi–saya harus mencarinya sendiri. Untungnya, lagi-lagi, teman-teman pelajar di sini juga membantu saya, mengarahkan saya ke toko-toko atau supermarket-supermarket yang menjual barang-barang seperti itu dengan harga supermurah (untuk ukuran sini, tentu saja).

Dan, tentu saja, mereka juga memberitahu saya mengenai keberadaan Brocante Nancy: sebuah ajang pasar loak terbesar di kota ini.

1 - 4
Konter

Saya datang ke pasar loak tersebut bersama teman-teman sesama pelajar Indonesia di Nancy. Di luar dugaan saya, tempat itu penuh dengan warga-warga yang menjual barang-barang mereka. Dan tak cuma itu–semua jenis barang ada di sini. Baju bayi? Ada. Sepeda? Ada. Piring? Ada. Artifak peninggalan keluarga dari jaman PD II? Ada. Novel horor? Ada!

1 - 5
Tenda
1 - 6
Keramaian
1 - 9
Pakaian
1 - 10
Payung, baju bayi, tas plastik
1 - 11
Piring, pajangan, boneka, video kamera
1 - 12
CD bekas, gelas, telepon, piring pajangan
1 - 16
Alat pertukangan
1 - 13
Tas-tas (Beberapa di antaranya bermerek lho)

Jadi, saya beli apa saja di sana? Dengan kebutuhan pokok sudah terpenuhi, saya hanya membeli beberapa barang tambahan seperti jaket tebal (untuk musim dingin, atau kalau suhu sudah mendekati nol derajat), buku novel horor, buku novel thriller, dan beberapa barang lainnya. Yang mantapnya? Semua itu saya beli dengan total pengeluaran di bawah 6 euro.

1 - 14
Jaket, toples, gantungan baju
1 - 15
Gerimis
1 - 17
Cerah

Sayang disayang, ajang seperti ini (katanya) hanya dilangsungkan setahun sekali. Berarti, saya harus menunggu sampai September tahun depan sebelum bisa datang ke pasar loak ini lagi. Entah apakah saya masih di sini begitu saat itu tiba, karena kemungkinan besar kuliah saya akan berakhir pada bulan Agustus. Tapi, tentu saja hal itu tidak akan menghentikan saya dari berharap. Toh, sepertinya, dengan saya semakin kerasan hidup di sini, waktu akan terasa berlalu lebih cepat lagi. Mungkin bagi beberapa orang, hal itu akan sangat menyebalkan. Pernah dengar, “Ah, sayang sekali! Padahal kayaknya baru sebentar banget!” Tapi, tentu saja, hal itu kembali ke diri kita masing-masing. Mana yang lebih kita suka: satu detik berisikan segenap hal-hal yang sangat membahagiakan, atau satu tahun berisikan keluh kesah?

Kalau saya, tentu saja, Anda mungkin sudah tahu jawabannya.

Bonus: spoiler untuk postingan berikutnya.

Yup
Yup

2 thoughts on “Pasar Loak (Dua Minggu di Nancy)

Leave a comment

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s